Namun, perubahan desain keserentakan pemilu ini tak lepas dari implikasi transisional yang kompleks, terutama dalam penyesuaian masa jabatan kepala daerah dan anggota legislatif daerah. Kita telah menyaksikan kepala daerah hasil Pilkada 2018 harus rela digantikan oleh penjabat yang ditunjuk hingga dua tahun. Demikian pula kepala daerah Pilkada 2020 harus mengakhiri masa jabatannya lebih cepat setahun.
Kini, dengan desain pemilu baru, risiko pengulangan transisi serupa kembali terbuka. Pemerintah mungkin harus kembali menunjuk penjabat kepala daerah dan memperpanjang masa jabatan anggota DPRD hingga tujuh tahun demi menyelaraskan jadwal pemilu.
Ini tentu bukan tanpa risiko. Warga dari 508 daerah harus kembali menerima pemimpin yang tak dipilih secara langsung. Keterwakilan politik bisa stagnan, dan potensi politisasi transisi jabatan sangat mungkin terjadi.
Perlu Desain yang Konsisten dan Adil
Oleh sebab itu, desain pemilu ke depan harus bersifat ajeg dan konsisten, tidak berubah-ubah setiap periode. Transisi ketatanegaraan yang terus berulang melemahkan kepercayaan publik terhadap demokrasi elektoral dan memperbesar ruang ketidakadilan konstitusional.
Revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada harus dilakukan secara komprehensif, menyentuh aspek transisi, sistem pemilu, masa jabatan, hingga desain penyelenggaraan. Tidak cukup hanya memperbaiki aspek administratif, tetapi juga harus memastikan keadilan elektoral dan mempersempit ruang manuver politik praktis dalam proses transisi.
Putusan MK sudah menegaskan arah penataan pemilu yang proporsional dan berkeadilan. Kini bola ada di tangan Pemerintah dan DPR untuk merumuskan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) yang mampu mendukung agenda penguatan partai politik dan menyuburkan kembali politik lokal yang berorientasi pada substansi. (*Detik.com)