Gara-Gara Efisiensi, Kepala Daerah Jadi Tidak Populer?

Oleh: Azwar Mardin

Redaksi

KlikGenZ – Tahun 2025 menjadi momen transisi penting bagi tata kelola keuangan negara. Pemerintah pusat menerapkan kebijakan efisiensi anggaran yang berdampak hingga ke tingkat daerah. Langkah ini bertujuan menyesuaikan belanja negara dengan kondisi fiskal, sekaligus menekan pengeluaran yang tidak prioritas.

Namun, kebijakan efisiensi ini menuai beragam reaksi. Dari kalangan pakar, pengamat, politisi, hingga tokoh masyarakat, responsnya bervariasi: ada yang memahami substansinya, ada yang setengah mengerti, bahkan ada pula yang memanfaatkan isu ini demi kepentingan politik semata.

Di tengah situasi ini, kepala daerah baik gubernur, bupati, wali kota, hingga wali nagari menjadi pihak yang paling terdampak. Mereka berada di garis depan, berhadapan langsung dengan masyarakat yang menuntut program berjalan seperti biasa. Padahal, ruang fiskal mereka menyempit.

Baca Juga  Kolaborasi Baby Boomer dan Milenial untuk Kemajuan Padang Pariaman

Kondisi ini membuat banyak kepala daerah serba salah. Di satu sisi, mereka ingin mengakomodasi aspirasi masyarakat, tapi di sisi lain dibatasi oleh regulasi efisiensi yang ketat. Sayangnya, masyarakat sering kali tidak peduli dengan dalih efisiensi anggaran. Yang penting bagi mereka, program bisa dilaksanakan dan kehadiran pemerintah tetap terasa.

Ketika kegiatan masyarakat tak bisa didukung anggaran daerah, kepala daerah sering dicap tidak peduli atau bahkan gagal. Penjelasan normatif tidak cukup di tengah opini publik yang mudah digiring oleh narasi sepihak terutama melalui media sosial atau percakapan informal yang sarat bumbu provokasi.