Tak heran, platform ini menjadi ladang subur penyebaran brain rot. Studi dalam jurnal Brain Sciences (awal 2025) menemukan, konsumsi media sosial yang berlebihan, ditambah screen time ekstrem, memicu gejala seperti kabut otak (brain fog), gangguan memori jangka pendek, kesulitan fokus, dan dorongan untuk mencari kepuasan instan.
“Rasanya otak saya dilatih berpikir cepat tapi dangkal,” kata Ardi. Ia bahkan mencoba puasa gawai sehari penuh, namun justru merasa gelisah dan bingung mengisi waktu. “Buka buku kuliah langsung ngantuk. Tapi kalau TikTok, walau enggak ngapa-ngapain, otak rasanya terhibur.”
Sayangnya, brain rot bukan sekadar membuat malas membaca atau pelupa. Di dunia pendidikan, dampaknya mulai terasa. Nur Islamiah, PhD, psikolog IPB University, menyebut bahwa siswa yang terbiasa mengonsumsi konten instan cenderung kehilangan motivasi dalam menyelesaikan tugas akademik yang menuntut konsentrasi dan pemikiran mendalam.
“Belajar jadi terasa membosankan karena otak terbiasa dengan rangsangan cepat dari media sosial,” katanya. Akibatnya, siswa lebih tertarik pada aktivitas yang memberi kepuasan instan dibanding proses belajar yang membutuhkan ketekunan.
Fenomena ini juga menghantui anak-anak usia dini. Wamendikdasmen Fajar Riza Ul Haq menyebut tsunami digital sebagai ancaman nyata bagi generasi muda. Ia mengungkapkan, 33,4% anak usia 0–6 tahun sudah terbiasa menggunakan gawai. Angka ini melonjak hingga 52% pada anak usia 5–6 tahun.
“Brain rot bisa menggerus stimulasi intelektual, emosional, dan sosial anak sejak dini,” ujar Fajar dalam sebuah kegiatan PAUD Holistik Integratif.
Melly Latifah, peneliti IPB, menambahkan, anak yang kecanduan gawai cenderung sulit lepas dari layar, mudah marah saat dibatasi, dan enggan melakukan aktivitas lain seperti membaca atau bermain.

Foto: Getty Images/AlexanderFord
Namun, bukan berarti semua konten digital harus dihindari. Dr. Constantino Iadecola dari Weill Cornell Medical Centre menekankan, konten digital bisa bermanfaat jika digunakan secara seimbang dan diarahkan pada aktivitas kreatif serta edukatif. Ia mengingatkan bahwa otak manusia terutama yang masih berkembang membutuhkan pengalaman nyata: sentuhan, interaksi sosial, emosi, dan gerakan fisik.
“Layaknya junk food, konsumsi layar boleh sesekali. Tapi jika berlebihan, kita bukan hanya kehilangan waktu, tapi juga daya pikir,” kata Benitez.
Kini, Ardi mulai membiasakan diri membaca buku lebih dari sepuluh halaman. Salma pun mencoba membatasi waktu TikTok hanya di malam hari. Karena pada akhirnya, otak juga perlu istirahat—bukan hanya dari rasa lelah, tetapi dari jebakan konten instan yang membuat kita tampak sibuk, padahal sebenarnya tidak benar-benar berpikir. (*detik.com)