KLIKGENZ – Hari ini, ketokohan seseorang sangat mudah terlihat. Di tengah derasnya arus media sosial, siapa saja bisa menjadi pusat perhatian, dikenal, bahkan dianggap tokoh, hanya dengan narasi sesaat yang viral. Tapi, mari kita tarik napas sejenak: apakah ketokohan seperti ini benar-benar lahir dari nilai, atau hanya hasil dari polesan citra dan ledakan emosi sesaat?
Era digital membawa tren baru dalam membentuk persepsi publik. Siapa pun kini memiliki panggungnya sendiri entah melalui tulisan, audio, atau video. Narasi-narasi yang menggelegar, penuh emosi, dan seringkali tanpa dasar pijakan kuat, dengan mudah mendapat ruang dan sorotan. Sayangnya, banyak dari narasi ini hanya mewakili kepentingan pribadi atau kelompok kecil, bukan kepentingan kolektif masyarakat.
Yang lebih mengkhawatirkan, informasi yang belum jelas asal-usulnya bisa langsung dianggap fakta. Tuduhan dan kecurigaan muncul tanpa proses verifikasi, lalu menyebar cepat, dan akhirnya menjadi hoaks yang sulit dibendung. Masyarakat diseret ke dalam arus disinformasi yang dipicu oleh keinginan eksis dan ambisi pribadi, bukan semangat mencerdaskan publik.
Dalam kondisi seperti ini, peran para tokoh sangat menentukan. Tokoh pemuda, adat, ulama, masyarakat, bahkan tokoh politik daerah harus mulai mengambil posisi sebagai juru damai dan penjernih informasi, bukan justru sebagai pendorong polarisasi. Sudah saatnya para tokoh tampil membawa narasi yang membangun, bukan membakar. Memberikan perspektif yang utuh, bukan memotong-motong fakta demi mendukung argumen sendiri.