Pandangan “orang tua” dibalut dengan berbagai dalil pengetahuan agar dapat mengobjektifikasi subjek “anak muda”.
Pertanyaan besarnya adalah bagaimana memisahkan antara “pengetahuan” dengan “kepentingan” dari “orang tua” terhadap anak muda? Bagaimana memisahkan antara yang objektif dengan yang subjektif tersebut? Agar tidak terjadi lagi bias-bias kepentingan di antara generasi tersebut.
Berkali-kali kita dapat dengar, bahwa seseorang yang secara biologis tua sering berusaha untuk merepresentasikan diri sebagai anak muda di dalam pidato, buku, media sosial dan sarana lainnya. Boleh jadi, ia ingin bersikap objektif sebagai pengamat ataupun peneliti kepemudaan.
Akan tetapi, saya sendiri skeptis, hal tersebut bisa dilakukan. Karena apakah mungkin “orang tua” bisa melepaskan diri dari ideologi, subjektifitas, dan pengalamannya sendiri untuk menceburkan diri kedalam dunia anak muda yang secara faktual sudah berjarak dengannya?
“Orang tua” yang mengklaim dapat mewakili generasi muda dalam kasus ini, semakin menunjukan bentuk dominasi “orang tua” terhadap hajat hidup anak muda dan tendensi ini selalu hadir di media massa.
Kontradiksi semacam ini sering saya temui di seminar-seminar, rapat-rapat kebijakan, partai politik, organisasi kepemudaan dan berbagai kajian yang berkaitan dengannya.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah “orang tua” dalam konteks ini yang bisa jadi pemangku kebijakan, peneliti, aktivis dapat menjadi juru bicara yang dimana ia tidak hidup di dalam tren, ekosistem, platform berfikir yang sama dengan generasi muda? Apa jadinya jika mereka memberdayakan anak muda tanpa melibatkan anak muda secara bermakna? Jawabannya sederhana, kaga nyambung cuy!